I.
Pengantar
Katekese Umat memang bertolak dari situasi hidup nyata. Dan situasi hidup
nyata harus diterangi dengan firman Allah seperti yang tertera di dalam Kitab
Suci. Firman Allah dalam Kitab Suci akan meneguhkan, menegur (mengkritisi) dan
mengarahkan situasi hidup nyata, maka perlu bagi kita mengetahui/memahami
hakekat Kitab Suci itu dan bagaimana menafsirkannya sebelum kita menggunakan
dalam Katekese Umat.
II.
Memahami Hakekat Kitab Suci
Kitab Suci sering disebut kitab yang memuat firman Allah. Tuhan berbicara
kepada manusia lewat pengalaman manusia yang direfleksikan dalam terang iman,
sehingga menjadi pengalaman iman, yang kemudian ditulis dan dibukukan menjadi
Kitab Suci itu. Kitab Suci lebih tepat disebut kitab iman.
Kitab-kitab iman yang memuat iman orang-orang Israel kepada Yahwe disebut
Kitab-kitab Perjanjian Lama. Kitab-kitab iman yang memuat iman umat purba
terhadap Yesus disebut Kitab-kitab Perjanjian Baru.
Sejarah Kitab Suci Perjanjian Lama dan Kitab Suci
Perjanjian Baru
a. Kitab Suci Perjanjian Lama
1.
Cerita tentang
penciptaan manusia misalnya Kej 2:7-9; 18:21-23, hendaknya dilihat sebagai
cerita iman bukan cerita sejarah. Dengan cerita itu, orang-orang Israel mau
mengajarkan kepada anak cucunya bahwa:
-
Manusia (pria dan
wanita diciptakan Tuhan).
-
Manusia, pria dan
wanita diciptakan untuk saling melengkapi.
-
Pria dan wanita
memiliki derajat yang sama.
Ajaran dan keyakinan ini menjadi kepercayaan yang sangat
kuat pada bangsa Israel. Mereka yakin bahwa ajaran yang terkandung dalam cerita
itu harus dimengerti sesuai firman Allah. Semua itu terjadi berkat ilham dan
bimbingan Roh Kudus.
2.
Seluruh Kitab Suci
Perjanjian Lama adalah kitab iman bangsa Israel bukan riwayat hidup dan sejarah
dari seseorang atau bangsa Israel.
3.
Perjanjian Lama
sesungguhnya mengisahkan prasejarah, yakni kisah penciptaan sampai dengan
Menara Babel (lih. Kej 1-11) dan sejarah Israel mulai dari Abraham yang hidup
di sekitar 2000/1800 Sebelum Masehi sampai menjelang Yesus Kristus, namun,
sejarah yang ditulis dalam Perjanjian Lama lebih merupakan sejarah iman.
b. Kitab Suci Perjanjian Baru
-
Ketika Yesus masih
hidup tidak ada orang yang mencatat apa yang dibuat atau dikatakan-Nya. Namun
sesudah Yesus bangkit, murid-murid dan pengagum-Nya sangat terpukul oleh
kematian-Nya, tiba-tiba mendapat semangat dan keyakinan baru yang luar biasa.
Kemudian, mereka mulai bercerita dan mewartakan tentang diri Yesus dari
Nazareth. Mereka begitu yakin bahwa Allah yang telah membangkitkan Yesus, tentu
menyetujui dan membenarkan segala apa yang diajarkan-Nya dan dilakukan-Nya.
Mereka mulai berbicara dan mewartakan tentang Yesus, ajaran-Nya dan
tindakan-Nya. Tetapi, semua kisah yang ditulis itu sudah sangat diwarnai oleh
rasa cinta, kagum dan kepercayaan mereka terhadap Yesus. Banyaklah kisah
tentang Yesus beredar diantara pengikut-pengikut-Nya.
-
Sekitar 60-90 tahun
kemudian, muncullah pikiran diantara murid-murid Yesus untuk menuliskan tentang
Yesus (hidup, ajaran dan tindakan-Nya). Dengan bimbingan Roh Kudus mereka
menuliskan tentang Yesus (hidup, ajaran dan tindakan-Nya).
-
Tulisan-tulisan
dalam Perjanjian Baru misalnya Injil bukanlah sebagai laporan atau sejarah yang
diteliti, tetapi sebagai buku iman dan cinta dari umat perdana tentang Yesus.
Tulisan-tulisan tersebut dipengaruhi oleh iman dan maksud dari pengarangnya.
Oleh sebab itu, tulisan-tulisan dari para penulis tentang Yesus tersebut
terdapat perbedaan. Sebab mereka menulis suatu laporan atau sejarah yang teliti
tentang Yesus, tetapi lebih tentang iman dan cinta mereka kepada Yesus Kristus.
c. Kesimpulan
-
Kitab Suci adalah
kitab iman umat Israel terhadap Yahwe dan iman umat perdana terhadap Yesus. Dan
itu bisa menjadi modal beriman bagi kita. Dalam Katekese Umat kita berusaha
bagaimana dapat memproses supaya penghayatan iman kita dalam hidup nyata ini
dapat bercermin pada iman umat Israel dan iman umat perdana.
III.
Menafsirkan Kitab Suci
Umat dalam kelompok KU menjadi penafsir Alkitab dan sekaligus pelaku
penafsir dalam hidupnya. Mereka menjadi penafsir Alkitab secara kontekstual.
a. Umat dalam kelompok KU punya wewenang untuk menafsirkan
Alkitab.
-
Alkitab adalah buku
Gereja, artinya buku yang mengungkapkan iman Gereja dan yang ditulis untuk
membangun iman seluruh umat Allah. Alkitab tidaklah ditulis pertama-tama untuk
Magisterium, para teolog, pengkotbah atau kaum religius, melainkan untuk
seluruh Gereja.
-
Alkitab ditulis
untuk dibacakan dalam jemaat. Tidak ada yang dianggap berlaku atau dapat
dimengerti hanya oleh sekelompok orang saja. Apabila jemaat yang menjadi
sasaran penulisan buku ini, maka pelaku pertama penafsiran Alkitab adalah
seluruh Gereja atau lebih tepatnya seluruh umat Allah.
-
Komunitas KU
sebagai perwujudan dari Gereja dalam bentuknya yang paling mendasar dengan
sendirinya punya hak untuk menafsirkan Alkitab.
-
Tafsiran tidak
boleh sesuka hati tetapi menurut maksud penulisan itu. Alkitab harus
ditafsirkan dengan bimbingan dan penerangan Roh Kudus.
-
Penafsiran jemaat
bersifat dialogal karena jemaat itu terdiri atas banyak orang dengan berbagai
latar belakang dan pengalaman. Penglihatan dan pengertian seseorang belum tentu
diterima oleh orang lain. Maka mereka harus saling membagi dan mendengarkan
pemahaman masing-masing. Sebagai suatu jemaat mereka harus menanyakan panggilan
yang akan mereka lakukan bersama berdasarkan pemahaman itu. Pemahaman yang
lebih mendalam membutuhkan waktu dan Allah tidak bekerja tergesa-gesa.
b. Pengalaman dan Penafsiran Alkitab.
-
Umat punya
kemampuan menafsirkan Alkitab. Karena Alkitab adalah buku pengalaman iman, maka
setiap orang yang punya pengalaman pasti akan mengerti Alkitab sesuai dengan
kemampuan yang diberikan kepadanya.
-
Di lain pihak,
harus diakui bahwa ada bagian Alkitab yang sulit dimengerti bukan hanya karena
yang isinya terlalu tinggi dan cara berkatanya yang tidak biasa, melainkan pula
karena terikat pada zaman dan tempat. Dalam hal ini, umat membutuhkan bantuan,
tetapi tidak untuk mematikan kemampuannya menafsirkan Alkitab itu sendiri.
-
Kesalahan yang
kerap dilakukan Gereja adalah orang kurang percaya akan karya Roh Kudus pada
orang kecil dan sederhana. Kesalahan ini biasanya dilakukan oleh orang cerdik
pandai dan belum bertobat dan menjadi seperti anak kecil. Orang-orang semacam
itu tidak mengerti karya Allah kepada orang yang murni hatinya, kepada orang
yang lapar dan haus akan kebenaran (bdk. Mat 5:6-8).
c. Apakah perlu Bantuan dari para Teolog dan Magisterium?
Perlu, tetapi bantuan ini tidak pernah boleh membuat
mereka menjadi tergantung. Karena setiap penafsiran yang menggantungkan diri
pada orang lain tidak pernah bersifat asli dan kreatif.
-
Umat yang berkumpul
bersama untuk mendengarkan firman Allah tidak boleh takut atau ditakut-takuti
untuk menafsirkan.
-
Fasilitator perlu
mempelajari ilmu tafsir Kitab Suci tetapi bukan untuk ditransfer kepada umat
dalam kelompok KU.
-
Untuk memahami
Kitab Suci secara lebih dalam, sebaiknya faslitator memahami:
1.
Konteks dari
peristiwa yang diceritakan dalam Kitab Suci.
2.
Memperhatikan jenis
sastra dalam Kitab Suci.
3.
Mendalami maksud
pengarang Kitab Suci.
IV.
Menggunakan Kitab Suci dalam Katekese Umat
a.
Tiga Tahap Penting KU, yakni:
-
Tahap menyadari
pengalaman hidup, menyangkut pokok yang hendak digumuli.
-
Tahap melihat,
persoalan yang telah digumuli dalam terang firman Allah.
-
Tahap merencanakan
tindakan nyata untuk memperbaiki atau menumbuhkan situasi yang ada sehubungan dengan
topik yang diangkat.
b.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam menggunakan Kitab
Suci dalam KU
-
Menggunakan
teks-teks Kitab Suci untuk KU masa sekarang.
Jangan pernah
mengambil suatu teks terlepas dari pesan teologisnya.
-
Pemilihan teks
Kitab Suci harus memperhatikan pengalaman iman Kitab Suci yang berhubungan
dengan pengalaman para peserta KU.
Jadi suatu
teks yang mampu berbicara kepada suatu situasi serta pengalaman tertentu dalam
keasliannya dari peserta KU.
-
Dalam KU kita tidak
dipertemukan dengan teks Kitab Suci tetapi dengan pengalaman Kitab Suci.
Pengalaman
kita bertemu dengan pengalaman Kitab Suci. Pengalaman alkitabiah menerangi
pengalaman kita. Kedua pengalaman ini memiliki analogi, kesinambungan dan
kemiripan tertentu yang tidak bisa apriori, melainkan harus dicari dalam
pengalaman Yesus (Kitab Suci).
-
Untuk masuk dalam
pengalaman alkitabiah, kita mesti mampu menafsirkan teks Kitab Suci.
Dalam
menafsirkan Kitab Suci pada saat ber-KU dari satu pihak, kita harus setia pada
teks, pada apa yang dimaksud pengarang dan di lain pihak, kita harus
memperhatikan pendengar kita.
-
Teks-teks Kitab
Suci bukan gudang untuk penyelesaian masalah melainkan suatu pewartaan atau
komunikasi pengalaman iman yang memberi kemungkinan orang untuk berjumpa dengan
Allah secara lebih pasti.
c.
Cara Memadukan Pengalaman Peserta KU dengan Pengalaman
Kitab Suci
1.
Dari segi nalar
yang sehat, harus ada keterkaitan isi (tema) antara pengalaman peserta KU dan
pengalaman alkitabiah.
2.
Dari segi afektif
perlu terpelihara keterkaitannya antara pengalaman peserta KU dan pengalaman
alkitabiah.
3.
Dalam KU, peserta
tidak dipertemukan dengan Kitab Suci tetapi dengan pengalaman Kitab Suci.
4.
Membangkitkan
fantasi, imaginasi dan intuisi untuk dapat memperlancar proses dari pengalaman
aktual peserta ke pengalaman alkitabiah.
Komentar
Posting Komentar