Cinta..
mengapa engkau selalu di bicarakan tiap hari...?
Bukan hanya
melalui ocehan manis anak kecil, ciuman hangat ibu, pelukan ayah, gemeretak
gigi nenek, tawa renyah kakek, bahkan juga oleh setiap tangis ku yang menghiasi
sebuah senyummu. Cinta selau ada..
Lebih lagi
untuk menebus sebuah senyum, aku harus membayar dengan air mataku..
Bukan air
mata sedih yang mendalam.. namun air mata karena takut kamu terluka..
Senyum..
aku akan mengumpulkan serpihan-serpihan kenangan yang telah kau ciptakan
Jangan larang aku! Ijinkan
aku boleh memilikinya dan mengenang senyummu.. tolong ijinkan..Satu
AKU- SINAR LINTANG
GAYATRI-Gadis Desa
Na..na..na..na..
Aku mendendangkan sebuah lagu yang baru
saja rilis. Karena tidak hafal liriknya lebih baik bagiku jika ‘nanana’ adalah
pengganti liriknya daripada aku salah-salah.
Sore
itu seperti biasa aku mengayuh sepedaku menyusuri jalan sepanjang... ehm entah
berapa kilometer. Celana tiga perempat, sandal jepit dan sweater bertudung
cukup melindungiku dari terik matahari sore. Kebetulan keranjang yang
bertengger di bagian depan sepeda penuh dengan pisang yang baru aku beli sebelum
pulang tadi. Pisang merupakan buah kesukaanku, aku bisa saja tidak makan nasi
seharian asal aku sudah makan buah pisang. Teman-teman bilang naluri ‘kemonyetanku’
muncul saat melihat pisang. Bahkan mereka meledekku karena tanpa aku sadari aku
mengupas kulitnya hanya menjadi 3 bagian. Hal ini berbahaya karena menurut
mitos itu tandanya kita benar-benar mirip mereka.
Untuk pulang ke rumah, cukup
bagiku jika aku melewati 2 desa saja namun aku lebih suka memutar. Bukan 2 desa
lagi namun 3 desa... hehe. Dan hari ini juga seperti itu. Olahraga gratis.
Hore.. keluar keringat. Dan.. This is my beloved village-Ricipan.
“ Lho.. Lintang..?!”
Kulihat ke belakang sesosok
paruh baya menyebut namaku.
“ Sugeng sonten, Nyai Ni” sapaku sambil menempatkan sepedaku pada
gang kecil di samping rumahku. Nyai adalah sebutan untuk nenek. Dan Nyai Seni
adalah adik dari nenekku yang berarti nenekku juga.
“ Baru pulang?” tanya Nyai Ni.
“ Nggih, Nyai Ni. Lho Nyai Ni mau kemana?” tanyaku balik. Kulihat di
tangannya ada botol bekas air mineral.
“ Ke warung beli minyak goreng
sambil jalan-jalan.” Jawabnya sambil berlalu.
Kuraih
lagi sepedaku yang tadi sempat bersandar,”.. nyai Ni tunggu, saya belikan”
“ Wes tha, ndak papa..”
tolaknya sambil senyum.
Kuraih
saja botol yang ada di tangannya dan dengan terpaksa dia memberikan uang untuk
membeli minyak goreng itu.
”.. 1 kilo
saja ya, Lin!” Teriaknya ketika sepedaku sudah melaju.
Ya senang sekali rasanya aku bisa kembali
bersepeda.. meski matahari enggan mengurangi sinarnya namun di atas sepeda
terasa bagiku bahwa angin juga berjuang mengimbangi gerakanku.
“ Terima kasih ya, Lin..” kata Nyai Ni
ketika kuserahkan botol yang hampir penuh berisi minyak goreng.
“Njih,
Nyai Ni..” jawabku.
“ O ya bagaimana siaranmu?” tanya Nyai
Ni. Saat itu kami sedang duduk-duduk di teras rumah Nyai Ni.
“ Lancar Nyai Ni..” jawabku yakin sambil
mengangguk.
Yah inilah aku.. Gadis desa yang tinggal
masih dalam asuhan lingkungan yang mengandalkan hidup guyup dan unggah-ungguh bahasa maupun sikap. Sekalipun hal tersebut
sudah mulai memudar -bahkan di desaku- namun entah apa yang almarhum bapak
ajarkan sebelum meninggalkan aku yang saat itu berumur 7 tahun. Harusnya saat
ini aku duduk di bangku kuliah, jika aku mau. Namun entah mengapa Tuhan memang
lebih tahu dari aku. Seandainya aku melanjutkan pasti aku tidak akan lancar,
karena.. keuangan.
Aku sangat menghargai ibuku sebagai orang
tua tunggal. Jadi sebagai bentuk bantuan aku lebih suka menganggur dulu pada
saat krisis seperti ini, dan... sedikit kesibukan sebagai penyiar di salah satu
radio lokal saat sore hari, sedangkan pada pagi hari aku membantu sekolah TK
yang satu-satunya ada di desaku. Menurutku ini semua merupakan rencana Tuhan
yang sempurna. Aku masih memiliki kesibukan, meskipun dari kesibukan tersebut
entah mengapa aku tak pernah memikirkan imbalan. Menemani adik-adik yang baru
belajar membaca maupun mengoceh sendirian adalah hiburan bagiku. Pernah aku
mencoba melamar kerja di kota, namun entah mengapa selalu gagal. Banyak
teman-teman sebayaku di Ricipan sudah menikah semua. Dari 30 temanku SD hanya
tinggal 2 orang saja yang masih melanjutkan SMA, 80% sudah menikah sedangkan
sisanya memilih merantau atau bekerja. Satu tahun menjalani semua ini membuat
aku sedikit banyak belajar mengenai siapakah dunia yang aku hadapi.
Malam tiba. Sunyi dan tenang. Di
depanku duduk 2 orang anak sekitar umur 8 tahun. Mereka ini
keponakan-keponakanku. Setiap malam aku menemani mereka belajar. Hitung-hitung
mengisi waktu malam. Hahaa.. aku tersenyum dalam hati.
“Eh, mb Lintang senyum-senyum
sendiri.” Kata Putri sambil mencolek-colek Rindah. “..Kenapa, Mb? “ lanjutnya.
Mereka berdua menertawaiku.
“Tenang saja! Mbak merasa malam
ini kaliyan berdua hebat. Pinter-pinter.”
Ujarku.
Seluruh hariku selama satu tahun
ini bertemakan ‘mengisi waktu’. Bagus juga. Tahun selanjutnya bertema apa ya?..
Komentar
Posting Komentar